Skip to main content

Kita Tidak Menunggu Apa-apa

Ku bilang aku ingin pergi.
Lalu kau jawab, “Sebentar lagi ya...”
Kita menunggu. Entah untuk apa.
Kemudian hujan turun.
“Aku ingin pergi.” Kukatakan lagi seperti itu.
“Tunggu hujan reda.” Sahutmu.
Kita menunggu. Kali ini menunggu hujan reda.
Dan setelah hujan reda, ku katakan lagi aku ingin pergi.
Dengan senyum kecil kau menjawab. “Tunggu sampai pelangi itu benar-benar pudar.”
Sejurus kemudian mata kita sama-sama menangkap pelangi.
Kita menunggu. Menunggu sampai pelangi sewarna dengan langit.
Perlahan matahari muncul lagi, selimuti bumi dengan hangatnya.
“Aku sudah bisa pergi?” tanyaku.

Kau diam cukup lama. Tatapanmu memberat dan kosong. Kau melihat lurus ke depan.
Aku di sampingmu, masih memperhatikanmu.
Kau tak melihatku, tapi aku cukup tahu matamu berkaca-kaca.
Kita menunggu lagi. Menunggu jawabanmu.
Ini jeda panjang...
Apa terlalu berat melepaskan seseorang pergi?
Tapi di luar sepengetahuanmu, aku juga sangat berat untuk pergi.
Kalau kau minta aku tidak pergi, maka aku akan tetap tinggal.
Kenapa orang dewasa serumit ini?
Dan, ini jawabanmu... “Ya, kau boleh pergi sekarang.”
Aku tak ingin memastikan jawabanmu. Yang aku telah tahu, kita tak pernah menunggu apa-apa.
Akhirnya aku berbalik, pergi.

picture: favim.com/image

Comments

Popular posts from this blog

Salty Studio & The Stories of Those around Me

I've finished Salty Studio few days ago, and just like The Stories of Those around Me  I love it so much. These two webtoons were created by Omyo. They had common characters with realistic feelings and toughts. The problems were the usual problems that could easily appear in our lives but we have no idea what will be the end - since nothing is certain and

Surat Soe Hok Gie - Film Gie

Untuk Herman di Irian, Herman, terimakasih untuk surat darimu yang tak pernah berhenti datang. Saya sangat membutuhkan teman bicara akhir-akhir ini. Menulis pun rasanya capek luar biasa, atau mungkin saya sedang muak dan tidak punya inspirasi. Waktu cepat berlalu, teman-teman kita makin banyak yang meninggalkan sastra. Saya benar-benar merindukan masa di mana saya, kamu, Ira, Deni, dan teman-teman lain tertawa, bertengkar, atau sekedar ngobrol. Memang Ira masih di sini, menjadi asisten dosen sejarah Indonesia, tapi kami masih rikuh untuk bicara, tentu kamu mengerti sebabnya. Sastra telah banyak berubah. Banyak teman-teman dosen yang tidak punya dedikasi dalam pekerjaannya dan membuat mahasiswa tidak kalah malasnya. Ini hanya salah sutu contoh dari banyak kebobrokan di almamater ini yang selalu saya persoalkan. Banyak yang mengeluh saya keras kepala dan selalu mencari masalah. Biarlah, lebih baik saya diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan. Saya akan membuat tulisan tentang in...

Rumah Belanda dan Kue Ombus-ombus

Dulu, sewaktu aku kecil, aku sering bermain ke tempat yang jauh-jauh, angker-angker. Tapi aku gak takut, selama gak sendirian. Di belakang rumah, ada jalan menuju rumah besar peninggalan Belanda, yang masih dihuni sama orang. Aku sering main ke rumah itu. Ada juga rumah peninggalan Belanda yang sudah gak layak huni lagi, rumahnya udah rapuh, bolong-bolong, aku juga sering main di sini, aku dan teman-teman menyebutnya “rumah angker”. Nah, di rumah yang masih ada penghuninya itu, tumbuh sebuah pohon beringin tua yang besaaar sekali di halaman rumahnya yang juga gak kalah besar (waktu aku kecil ya keliatannya besar banget, tapi gak tau ya kalau sekarang apa masih kelihatan besar atau enggak). Kami (aku dan temanku) mainnya di bawah pohon itu, di antara lekuk-lekuk pohon yang masih muat di isi oleh satu atau dua tubuh kami.