Skip to main content

Rumah Belanda dan Kue Ombus-ombus

Dulu, sewaktu aku kecil, aku sering bermain ke tempat yang jauh-jauh, angker-angker. Tapi aku gak takut, selama gak sendirian.

Di belakang rumah, ada jalan menuju rumah besar peninggalan Belanda, yang masih dihuni sama orang. Aku sering main ke rumah itu. Ada juga rumah peninggalan Belanda yang sudah gak layak huni lagi, rumahnya udah rapuh, bolong-bolong, aku juga sering main di sini, aku dan teman-teman menyebutnya “rumah angker”.

Nah, di rumah yang masih ada penghuninya itu, tumbuh sebuah pohon beringin tua yang besaaar sekali di halaman rumahnya yang juga gak kalah besar (waktu aku kecil ya keliatannya besar banget, tapi gak tau ya kalau sekarang apa masih kelihatan besar atau enggak). Kami (aku dan temanku) mainnya di bawah pohon itu, di antara lekuk-lekuk pohon yang masih muat di isi oleh satu atau dua tubuh kami.

Pohon itu juga punya lobang besar dan gelap yang muat kami masuki, tapi muncul mitos kalau ‘jika ada anak yang memasuki lobang tersebut maka ia tidak akan dapat keluar lagi’. Di bayanganku, kalau masuk ke pohon itu yang pertama kali dijumpai adalah tangga untuk menuju puncak beringin di mana ada satu set meja makan yang berisi banyak sekali makanan-makanan enaak.. ah, payah, dari dulu aku memang doyan makan. -__-)

Tapi ya sebenarnya, lobang itu gak tembus ke dalam pohon, kalau kita coba raba ke dalam, pasti tersumbat gitu (ngerti lah maksudku, aku gak ngerti menuliskannya gimana).
Masih di pekarangan rumah tua itu, kami sering main masak-masakan, dan masak-masakan beneran. Di samping rumah ada sebentang tanah, yang saat itu ditanami kacang tanah. Setelah minta izin dan diperbolehkan mengambil kacang oleh si pemilik rumah sekaligus kebun kacang itu, kami kegirangan nyongkel-nyongkel (nyongkel?) tanah dan mengambil kacangnya! Berbekal panci bekas, batu bata, kayu, dedaunan kering, dan korek api, kami pun merebus kacang. Bersih? Kayaknya enggak, tapi ya tetep, kacang rebus itu berakhir juga di perutku. Namanya juga anak-anak. Nyam-nyam.. :9

Selain main masak-masakan, kami main rumah-rumahan, teman-teman yang pintar manjat pohon, biasanya milih rumah di atas pohon jambu yang tumbuh di sebelah pohon beringin itu. Aku kebagian di bawah, takdir bukan pemanjat sejati T__T.

Dulu ya pertama kali makan kue ombus-ombus itu disini, kebetulan penghuni rumah ini orang batak, dan kadang aku juga bantu (ngeliatin doang) Uwak ini pas bikin ombus-ombus. Pokoknya mantap disantap saat panas itu kue.

Nah, kalau di “rumah angker”, rumah peninggalan belanda yang tidak berpenghuni, kami biasanya main masak-masakan, duduk-duduk, makan tebu, atau makan siang bareng (bawa bekal masing-masing dari rumah, terus di makan di rumah angker).

Aku sih dilarang nyebut itu rumah angker, disuruhnya nyebut rumah kosong saja. Tapi ya angker atau enggak, selama gak sendiri, aku gak takut. Hehe.

Ada lagi, satu rumah yang menurutku angker, mirip rumah tua eh sebenarnya memang rumah tua peninggalan belanda juga. Tapi rumah ini lumayan jauh dari rumahku, aku dan temanku sering juga melintasi rumah ini. Untuk sekadar mengumpulkan ranting pohon, atau menakut-nakuti diri kami sendiri. Ah, aku memang masuk golongan anak-anak yang kurang kerjaan! (.__.)

picture: http://www.desktop-wallpaper.org/old-house-cloudy-wallpaper/

Comments

  1. catet ....

    Ah, aku memang anak-anak yang kurang kerjaan! (.__.)
    maksud tulisan iki opo to win...
    ra mudheng aq

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha, udah diedit lagi tulisannya mba...
      tulisan ini tentang secuil cerita masa kecilku yang entah suram atau tidak, ingin kubagi dgn yg lain.
      *wkwk ga penting ya mba, dibagi2..* cuma iseng aja tengah malam ;)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Salty Studio & The Stories of Those around Me

I've finished Salty Studio few days ago, and just like The Stories of Those around Me  I love it so much. These two webtoons were created by Omyo. They had common characters with realistic feelings and toughts. The problems were the usual problems that could easily appear in our lives but we have no idea what will be the end - since nothing is certain and

Surat Soe Hok Gie - Film Gie

Untuk Herman di Irian, Herman, terimakasih untuk surat darimu yang tak pernah berhenti datang. Saya sangat membutuhkan teman bicara akhir-akhir ini. Menulis pun rasanya capek luar biasa, atau mungkin saya sedang muak dan tidak punya inspirasi. Waktu cepat berlalu, teman-teman kita makin banyak yang meninggalkan sastra. Saya benar-benar merindukan masa di mana saya, kamu, Ira, Deni, dan teman-teman lain tertawa, bertengkar, atau sekedar ngobrol. Memang Ira masih di sini, menjadi asisten dosen sejarah Indonesia, tapi kami masih rikuh untuk bicara, tentu kamu mengerti sebabnya. Sastra telah banyak berubah. Banyak teman-teman dosen yang tidak punya dedikasi dalam pekerjaannya dan membuat mahasiswa tidak kalah malasnya. Ini hanya salah sutu contoh dari banyak kebobrokan di almamater ini yang selalu saya persoalkan. Banyak yang mengeluh saya keras kepala dan selalu mencari masalah. Biarlah, lebih baik saya diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan. Saya akan membuat tulisan tentang in...