Skip to main content

a r o m a

Beberapa jam yang lewat, aku mengirim pesan ke Tika (baca: ketika). Terhitung sudah kali kedua kami melakukan ritual saling memberi Pekerjaan Rumah (PR). Lima hari sebelumnya, Tika memberiku PR sebuah kode. Aku memecahkannya dan bahagia. Dia memang ahli membuat orang lain bahagia dengan cara yang aneh. Aneh masih berarti pujian bagiku. Aku tidak mengerti, apa bahagia karena bisa memecahkan kode itu, atau bahagia membaca arti kodenya. Mungkin ini adalah kelipatan. Lihat, betapa Tuhan sangat baik. :)
Dalam pesan tersebut aku memberinya PR, untuk membuat sebuah puisi dengan tema 'Lelaki Beraroma Sesuatu'. Sebenarnya aku terinspirasi dari seorang tokoh novel bernama Akshara yang memberi penilaian pada laki-laki berdasarkan aromanya. Ialah Novel Kala Kali, bagian Bukan Cerita Cinta, karangan Windy Ariestanty

Ini dia puisinya. Jangan paksakan diri menyimaknya. Hanya perlu membacanya pelan, seirama detik jam - detak jantung - hela napas. Ia lahir dari 60 menit di hari jum'at. Dari gambar seekor kucing yang mengendus tubuh laki-laki yang tengah tergeletak miring. Berwujud satu stanza delapan baris (walaupun aku hanya minta tujuh).
Pikiranku membuat pernyataan, bahwa aroma mayat sangat dekat dengan aroma kehidupan. :)



Judul: Lelaki Beraroma Mayat
Berlarian menjauh sampai tersungkur
Nyatanya hitam tetaplah hitam
Lalu terbongkar,
Lalu kembali terkubur dalam
Seolah menjadi “Sesuatu” adalah satu-satunya tujuan
Bagai elang kehilangan cakar mendongengkan elegi
Bagaimana bisa menang tanpa pengakuan?
Lalu kau menemukan dirimu bisa menjadi apa saja kecuali dirimu sendiri



Ada hal lain tentang aroma. Aku dapat retweet dari mba Windy Ariestanty. Jadi aku tanya, kira-kira aku ini perempuan beraroma apa. Dan mba Windy jawab, "beraroma pagi." :) I am happy to be morning! :D



Comments

Popular posts from this blog

Salty Studio & The Stories of Those around Me

I've finished Salty Studio few days ago, and just like The Stories of Those around Me  I love it so much. These two webtoons were created by Omyo. They had common characters with realistic feelings and toughts. The problems were the usual problems that could easily appear in our lives but we have no idea what will be the end - since nothing is certain and

Surat Soe Hok Gie - Film Gie

Untuk Herman di Irian, Herman, terimakasih untuk surat darimu yang tak pernah berhenti datang. Saya sangat membutuhkan teman bicara akhir-akhir ini. Menulis pun rasanya capek luar biasa, atau mungkin saya sedang muak dan tidak punya inspirasi. Waktu cepat berlalu, teman-teman kita makin banyak yang meninggalkan sastra. Saya benar-benar merindukan masa di mana saya, kamu, Ira, Deni, dan teman-teman lain tertawa, bertengkar, atau sekedar ngobrol. Memang Ira masih di sini, menjadi asisten dosen sejarah Indonesia, tapi kami masih rikuh untuk bicara, tentu kamu mengerti sebabnya. Sastra telah banyak berubah. Banyak teman-teman dosen yang tidak punya dedikasi dalam pekerjaannya dan membuat mahasiswa tidak kalah malasnya. Ini hanya salah sutu contoh dari banyak kebobrokan di almamater ini yang selalu saya persoalkan. Banyak yang mengeluh saya keras kepala dan selalu mencari masalah. Biarlah, lebih baik saya diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan. Saya akan membuat tulisan tentang in...

Rumah Belanda dan Kue Ombus-ombus

Dulu, sewaktu aku kecil, aku sering bermain ke tempat yang jauh-jauh, angker-angker. Tapi aku gak takut, selama gak sendirian. Di belakang rumah, ada jalan menuju rumah besar peninggalan Belanda, yang masih dihuni sama orang. Aku sering main ke rumah itu. Ada juga rumah peninggalan Belanda yang sudah gak layak huni lagi, rumahnya udah rapuh, bolong-bolong, aku juga sering main di sini, aku dan teman-teman menyebutnya “rumah angker”. Nah, di rumah yang masih ada penghuninya itu, tumbuh sebuah pohon beringin tua yang besaaar sekali di halaman rumahnya yang juga gak kalah besar (waktu aku kecil ya keliatannya besar banget, tapi gak tau ya kalau sekarang apa masih kelihatan besar atau enggak). Kami (aku dan temanku) mainnya di bawah pohon itu, di antara lekuk-lekuk pohon yang masih muat di isi oleh satu atau dua tubuh kami.