Seperti
sediakala, dari bangku taman ini tatapanku selalu mengutara, sebab dari sana perempuan
itu akan muncul. Biasanya dengan setengah berlari atau berjalan cepat sambil
memperhatikan jam tangannya. Dari jauh dia akan sudah melemparkan senyumnya
untukku, isyarat agar memaklumi keterlambatannya. Aku selalu dapat mendengar
ketukan sepatu hak tingginya yang beradu dengan paving blok jalanan lebih dulu,
disusul dengan aroma parfumnya. Hari ini ia tampak kasual dengan kaos putih,
jeans biru, dan scarf abu-abu yang membebat lehernya. Begitupun denganku
yang mengenekan Oxford shirt biru muda dan celana khaki coklat.
Aku dan dia memang lebih memilih berpenampilan sederhana dan nyaman.
“Kita
ngopi di mana, Nik?” Tanyanya.
Namanya
Naura, kupanggil juga demikian. Kami sudah berteman sebanyak empat puluh
delapan cangkir kopi. Kami menghitung usia pertemanan dengan jumlah cangkir
kopi yang sudah kami habiskan bersama – berdua saja. Kurang lebih sudah enam
tahun mengenalnya dan tiga tahun kami berteman. Hari ini usia persahabatan kami
akan bertambah dua cangkir kopi lagi.
Dua
cangkir pertama kami masih kuingat lekat. Naura adalah temanku di kampus. Kami
sudah mengenal lama sekali sebelum dua cangkir pertama itu. Awalnya aku, dia,
dan teman-teman kampusku yang lain melakukan rapat kecil di sebuah kafe, lalu
kami memesan pesanan yang sama. Cerita terus bersambut. Aku dan Naura sama-sama
menyukai kopi. Kuberi tahu kopi favorit kami. Dari sekian banyak menu kopi, aku
dan Naura kerap memilih kopi tubruk. Mungkin karena rasanya yang begitu jujur
dan sangat Indonesia.
Selain
sama-sama menyukai kopi, aku dan Naura memiliki beberapa kesamaan yang lain.
Tidak banyak, hanya cukup untuk membuat kami merasa cocok dan saling menjadi
tempat curhat yang nyaman. Dua cangkir kopi pertama itu berisi gilingan kopi
sidikalang dan percakapan-percakapan sederhana. Sehingga selain ada kami dan
dua cangkir kopi, juga ada aroma yang begitu khas dari kopi asal sumatera utara
itu.
“Kamu
kenapa suka sekali kopi?” tanya Naura penuh niat. Jauh dari basa-basi.
“Karena
rasanya tidak monoton.” Jawabku jujur. “Pahit, manis. Seperti kehidupan, ada pahit
dan ada manisnya.”
Ia
tertawa dan menimpali, “Aroma secangkir kopi selalu mengingatkanku pada aroma
tanah. Mengingatkanku kemana sebenarnya tempat kita pulang nanti.”
Seperti
itulah Naura di hadapanku. Terkadang pikirannya tajam, terkadang selembut kapas.
Terkadang lagi ia diam beku seperti kristal, kemudian mencair lagi seperti es
krim. Intinya ia menyenangkan. Seperti rasa kopi, ia juga tidak monoton.
***
Cuaca
kota sedang panas terik, ketika pertemanan kami berusia sepuluh cangkir kopi.
Di salah satu kafe aku melihat ia sudah duduk menunggu. Tampak jelas dari balik
jendela kaca. Ia membolak balik kertas menu, lalu mengecek kembali ke
ponselnya. Dengan beberapa langkah dari tempat parkir aku akhirnya masuk ke
dalam kafe dan mendapatkannya – sejam-dua jam milik Naura dan ceritanya hari
itu.
“Hai
Niko. Kok lama? Dari mana?” sapa Naura.
“Dari
kemacetan lalu lintas.” Jawabku sambil meletakkan senyum di hadapannya. Berharap
ia membawa senyum itu pulang dan meletakkannya di dekat sebuah jam dinding –
salah satu benda yang kupikir paling sering ia lihat. Tapi tidak. Ia malah
memperhatikan menu lagi dan menawarkanku sebuah menu baru yang direkomendasikan
cafe itu.
Sejak
cangkir kopi kami yang kedelapan, aku menaruh hati padanya. Aku tidak bilang
kasihku bertepuk tanpa suara, ia selalu bersikap baik padaku. Kasihku
bersambut. Tapi seperti judul cerita ini, itu adalah kisah kasih sepasang
manusia yang berteman. Aku mungkin hanya ditakdirkan untuk menjadi teman
terbaiknya, sebab aku bisa paham betul apa yang dirasakannya. Pun saat ia jatuh
cinta pada seorang pria, aku menyaksikannya, ia benar-benar menjatuhkan hatinya
untuk pria itu.
Tidak
lama berbincang akhirnya kopi kami datang. Dua cangkir kopi Lintong terhidang
di atas meja. Kopi yang gerangan berasal dari sekitar Danau Toba. Aku menatap cangkir
kopi kesepuluh kami. Kopi Lintong yang rasanya kuat seperti tengah melukiskan
tali pertemananku yang semakin kuat dengan Naura.
***
Cangkir
kopi kedua belas kami berisi kopi Gayo. Kopi dengan kenikmatan yang sudah
mendunia dan berasal dari dataran tinggi Gayo. Hari itu kami mendadak puitis.
“Menurut
kamu puisi yang bagus itu puisi yang seperti apa?”
“Puisi
yang ditulis dengan penuh kesadaran. Tapi ketika dibaca, puisi itu menjadi sangat
memabukkan.”
“Sajak
sempurna sebaiknya bisu. Seperti pohon, mega dan gunung yang hadir utuh tanpa
bicara.” Naura melafalkan baris-baris terakhir puisi berjudul Salam kepada
Heidegger karangan Subagio Sastrowardoyo. “Kalau puisi itu, sudah
memabukkanmu belum?”
“Aku
lebih mabuk ketika melihat kerlingan matamu.” Godaku.
***
Cangkir
kopi kedua puluh delapan kami berisi kopi Manggar dan tebak-tebakan. Sebuah
kafe baru di kota muncul dengan konsep tradisional. Desain interiornya sangat
memikat, sederhana sekaligus indah. Salah satu menunya adalah kopi Manggar,
kopi khas Belitung. Konon Manggar disebut-sebut sebagai kota seribu satu warung
kopi. Di sana, orang-orang pribumi dan Tiong Hoa berkumpul di warung kopi untuk
berbincang dan bersenda gurau.
“Kamu
tahu persamaan langit dan laut?” Naura memulai tebak-tebakannya.
“Sama-sama
jauh dari sini.” Tebakku.
“Bukan.”
Senggah Naura. “Mereka sama-sama punya bintang.”
“Kamu
tahu persamaan rumput jepang dan rumput gajah mini?” giliranku bertanya.
“Sama-sama
dijual?”
Sore
itu, seperti orang yang kurang bacaan atau orang yang enggan meninggalkan
ritual, kami masih saja terus menghitung jumlah cangkir-cangkir kopi yang telah
kami habiskan bersama – berdua saja.
***
Kepercayaanku
tentang, bahwa kami memang ditakdirkan hanya menjadi sepasang manusia yang
berteman menguat, setelah seorang gadis berhasil membuatku jatuh hati. Gadis
yang jauh berbeda dari Naura. Dengan caranya, gadis itu dapat merebut sebagian
tempat Naura di hatiku menjadi tempatnya. Dan sejak aku dan Naura sudah mengisi
hati kami dengan pasangan masing-masing, kami jadi jarang sekali mengisi
cangkir-cangkir kopi kami dengan potongan-potongan cerita.
Seperti
kopi yang terasa pahit dan manis, seperti itu juga hidup ini berjalan. Dengan
melewati beberapa kejadian, aku dan Naura mengakhiri hubungan kami dengan orang
yang sudah membuat kami jatuh hati. Dalam beberapa pesan singkat di social
media akhirnya aku dan Naura memutuskan untuk menambah jumlah kopi yang
akan kami habiskan bersama. Kamipun bertemu lagi, mengopi lagi, dan bercerita
lagi. Tentang cuaca, tentang buku, tentang kasenjangan sosial, tentang masa
depannya, tentang keahlian bela diriku yang sering dihubungkannya dengan bela
negara, dan banyak hal-hal lain.
Beberapa
cangkir kopi berlalu. Entah hanya dugaanku saja. Aku merasa Naura mulai melihat
kearahku, membawa pulang senyum dan ingatan tentangku setiap kali kami
berpisah. Menurutku, sebaiknya itu tidak terjadi.
***
Dan
hari ini cangkir kopi kami akan terhitung 50. Jika diumpakan ulang tahun
pernikahan, maka kami sudah mencapai usia emas. Entah ini akan menjadi cangkir
kopi yang terakhir atau tidak, tidak satupun diantara kami yang tahu. Belakangan
aku sering menunggu Naura di taman. Kami berjanji bertemu di sana. Kemudian
berjalan bersama menuju kafe-kafe kecil yang tidak jauh dari taman. Dimana
saja, yang penting minum kopi dan bercerita seperti waktu itu.
“Kamu
kapan berangkat, Nau?” tanyaku setelah tahu ia berhasil mendapat beasiswa di
luar negeri untuk melanjutkan kuliah. Cerita mengenai beasiswa ini sudah ia sampaikan sejak awal bulan lalu.
“Minggu
depan.” Jawab Naura.
Tatapannya
tidak kosong. Selayak proyektor, tatapannya memantulkan banyak hal. Mulutnya
sedikit terbuka, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang telah lama tersendat
dan masih sulit untuk ia keluarkan. Sekali dua kali ia membenarkan letak scarf-nya.
Sampai seorang pelayan kafe mengantarkan dua cangkir kopi ke meja kami.
“Terima
kasih.” Kata Naura kepada pelayan kafe. Walaupun tidak mewakili kata-kata yang
ingin ia sampaikan, tapi ucapan itu membuatnya sedikit bernapas lega.
“Kenapa,
Naura?” tanyaku. Sebab aku merasa ada yang tidak benar dari sikapnya. Lagi-lagi
mata perempuan itu seperti proyektor yang menyimpan banyak gambar yang hanya
dapat terlihat jika kita melihat ke layar, bukan ke matanya langsung.
“Kamu.”
Jawab Naura. Entah terputus, entah hanya itu jawabannya.
“Iya?”
tanyaku lagi.
“Kamu
bisa antar aku sampai bandara kan minggu depan?”
Aku
mengiyakan. Suasana di kafe ini mendadak melankolis. Mungkin karena mendung
atau tanggal tua. Aku percaya emosi seseorang bisa merubah atmosfer di suatu
tempat, tanggal tua salah satu pemicunya. Tiba-tiba musik di kafe memutar lagu Mesin
Penenun Hujan-nya Frau. Itu bukan lagu favoritku apa lagi Naura. Sejujurnya
kami tidak memiliki satupun lagu kesukaan. Kami hanya mendengar lagu dan
menerjemahkan maknanya.
Langit
semakin gelap, tapi suasana kafe tetap benderang dengan lampu warna warninya.
Di luar rintik-rintik gerimis mulai turun. Naura seperti rasa kopi yang tak
kunjung monoton. Ia sering sekali menyadarkanku sesuatu. Seperti kafein yang
bisa merubah rasa kantuk dan membuat seseorang menjadi terjaga. Kali ini pun pernyataannya
menyadarkanku sesuatu, bahwa dugaanku waktu itu benar adanya. Ia jatuh hati
pada orang yang salah – aku.
Aku
terdiam. Sebenarnya aku mencari. Aku mencari jawaban atas penyataan Naura yang
tersirat seperti pertanyaan. Aku mencari alasan, mencari kata-kata yang dapat
menjadi penutup atas semuanya. Mungkin juga kata-kata yang dapat menutup
hatinya lagi untukku. Aku menyeruput kopiku. Seakan apa yang kucari tengah
tersendat ditenggorokan, dan dengan minum aku dapat menemukannya. “Kamu ngomong
kayak gini supaya pertunanganku ditunda, karena kamu enggak bisa datang bulan
depan?” candaku mencoba mencairkan suasana yang canggung sejak tadi.
“Pertunangan?
Bulan depan?”
“Teman
ngopimu ini akan melamar seseorang.”
“Nik,
kayaknya aku patah hati.” Naura tersenyum, menampilkan wajah bercandanya. Tapi
proyektor itu, maksudku matanya, seperti memantulkan kekecewaan.
“Nau,
bukan keputusan kita untuk jatuh hati. Tapi patah hati adalah sebuah keputusan.”
Aku memasang wajah serius. “Itu hati kamu. Cuma kamu yang bisa mematahkannya.
Bukan orang lain, apa lagi aku.”
“Kamu
takut bertanggung jawab ya, Nik, kalau aku patah hati?” Jawab Naura ketus. Lalu
buru-buru ia tertawa lebar. “Tenang saja Nik. Aku sepakat patah hati itu adalah
keputusan kita. Dan hari ini, kalau aku patah hati, aku tidak akan menyalahkan
siapa-siapa.”
Pada
akhirnya topik berganti. Kami membicarakan hal lain. Tapi tidak lama, Naura
langsung pamit. Ia bilang ada yang harus segera diurus mengenai beasiswanya. Ia
menolak kuantar dengan alasan sudah memesan taksi online. Rasa-rasanya
itu adalah pertemuan tersingkat kami. Ia mendorong mundur kursinya, bangkit,
lalu berbalik pergi.
“Naura.”
Panggilku. “Terima kasih ya.” Ucapan itu terdengar sendu seperti ucapan selamat
tinggal.
“Sama-sama.”
Jawabnya setelah berbalik dengan senyum paling sempurna hari itu. Ia pun melesat
pulang dengan sebuah taksi yang menunggunya sejak tadi.
Naura
tidak memberiku apa-apa yang berbentuk zat padat. Bahkan dua cangkir kopi hari
itu aku yang membayarnya. Kemudian aku berterima kasih, dan seakan ucapan itu
tidak salah tempat Naura membalasnya. Biar hanya kami yang merasakan. Cinta
biarpun tak terlihat, tapi benar hadirnya. Aku berterima kasih untuk cinta
Naura yang kukembalikan padanya, agar di lain tempat ia dapat memberinya kepada
orang yang benar. Aku berterima kasih untuk setiap cangkir kopi yang kami
hitung selama ini. Aku berterima kasih karena ia kerap memilih kopi tubruk
seperti pilihanku. Aku berterima kasih kepada seorang gadis yang pernah
mengatakan bahwa aroma kopi mengingatkannya pada tempat kemana ia akan pulang.
Jika bukan kopi, maka bukan Naura. Jika bukan Naura, maka bukan cerita ini yang
hadir dalam hidupku.
Aku
melihat keluar jendela. Gerimis yang tadinya turun mulai mereda. Hujan tak jadi
turun. Kuangkat cangkir kopiku untuk menghabiskan kopi yang tersisa. Saat aku
meletakkan lagi cangkir kopi itu, mataku tak sengaja melihat ke arah cangkir
kopi milik Naura. Kucondongkan badanku sedikit ke depan supaya dapat melihatnya
lebih jelas. Kopi Naura tak berkurang. Alih-alih sejak tadi Naura belum meminum
kopinya sedikitpun. Ia meninggalkannya utuh. Hari itu, Naura membuat jumlah
kopi kami menjadi ganjil untuk pertama kalinya.
***
Hari-hariku
berjalan seperti biasa. Ke kantor, pulang ke rumah dan beristirahat, dan sesekali
berkumpul dengan teman-teman atau menemui calon tunanganku. Hari ini tepat
seminggu setelah pertemuan terakhirku dengan Naura. Sesuai janjiku, aku turut
mengantarkannya ke bandara. Aku mengajaknya minum kopi karena ia masih punya
dua setengah jam sebelum penerbangannya. Tapi ia menolak dengan alasan takut
tidak bisa tidur di pesawat. Benar juga, pikirku. Jadi kami menghabiskan sore
itu duduk di sebuah bangku panjang, melihat lalu lalang orang yang hilir mudik
dengan tujuan berbeda-beda. Kami membicarakan hal-hal yang nyaman untuk
dibicarakan saja, seperti dulu, bukan seperti kemarin. Sampai pesawat Naura take
off, mengecil, lalu menghilang bersama matahari terbenam, aku masih di
bandara dengan sesekali menatap ke langit. Dan sejak saat itu pula jumlah kopi
kami tak pernah lagi tergenapi.
18/08/2016, Sumatera Utara
Winda AYUANDA
Gambar oleh Nulisbuku.com dan instagram.com/giordanoid dengan
penambahan
Beberapa informasi mengenai kopi diambil dari https://majalah.ottencoffee.co.id/jenis-jenis-kopi-sumatera/
dan https://momtravelerblog.wordpress.com/2013/11/12/nyeruput-kopi-manggar-khas-belitung/
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Comments
Post a Comment